Rabu, 10 Juni 2009

"BERADA" DENGAN KARYA SASTRA

"FLP adalah anugerah dari Allah untuk Indonesia" (Taufiq Ismail)


Forum Lingkar Pena (FLP) adalah komunitas (calon) penulis yang didirikan pada 22 Februari 1997. Pendirian forum ini bermula dari diskusi kecil Helvi Tiana Rosa, Asma Nadia, Muthmainnah dan beberapa mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) di Masjid Ukhwuah Islamiyah, Jakarta. Dari diskusi itu, mereka menyadari kebutuhan masyarakat akan bacaan yang bermutu juga perlunya wadah untuk menampung bakat menulis para calon penulis. Akhirnya mereka sepakat untuk membentuk organisasi kepenulisan dengan nama Forum Lingkar Pena yang kemudian disingkat dengan FLP.

Dalam perkembangannya, FLP menjadi wadah ratusan bahkan ribuan orang untuk mengasah potensi diri untuk menjadi penulis. Sehingga FLP mampu menerbitkan hampir 1.000 buku, bekerja sama dengan tak kurang dari 30 penerbit, serta membuka cabang di 125 kota di Indonesia. Bahkan mereka mampu membuka cabang di luar negeri seperti Singapura, Hongkong, Jepang, Belanda, Amerika, Mesir, dan lain-lain. Nama FLP semakin fenomenal pasca diterbitkannya Novel "Ayat-Ayat Cinta" karya Habiburrahman El-Shirazy, anggota FLP Mesir tahun 2004.

Kelahiran FLP juga "dibidani" oleh salah satu redaksi An-Nida, sehingga dalam perjalanannya FLP dan An-Nida berjalan bergandengan. Banyak penulis FLP yang mengasah kemampuan dengan mengirim karya tulis mereka ke majalah An-Nida. Majalah fiksi remaja Islam ini telah menjadi media komunikasi yang efektif bagi FLP. Hampir seluruh anggota FLP adalah pembaca sekaligus penulis di majalah An-Nida. Dari sanalah FLP sering diidentikkan sebagai komunitas yang mengusung jargon sastra Islami walaupun secara resmi FLP tidak pernah mendeklarasikan hal tersebut.

Penilaian apakah karya dapat disebut sebagai sastra Islami atau bukan, tidak dilihat pada karyanya semata, namun juga pribadi pengarang, proses pembuatannya, hingga dampak yang ditimbulkan pada masyarakat. Sastra bagi pengarangnya adalah ibadah, pengabdian yang harus dipertanggungjawabkan pada umat dan Allah. Sastra adalah karya yang dapat membentuk ke arah perbaikan manusia. Sastra adalah karya yang dapat mengambil bagian dalam mengatasi kerusakan aqidah dan akhlak masyarakat. Dengan kata lain, sastra yang diusung oleh FLP adalah sebagai salah satu sarana untuk berdakwah bagi penulisnya sebagaimana visi FLP yang ingin menjadikan menulis sebagai salah satu pencerahan masyarakat bahkan umat.

Adalah hal yang baik jika menjadikan sastra sebagai sarana untuk berdakwah. Namun yang menjadi maslah adalah bagaimana mengemasnya. Jika dakwah itu terlalu vulgar, lantas apa bedanya dengan khotbah?

Beberapa pihak mengatakan bahwa semangat yang kuat untuk berdakwah oleh sebagian anggota FLP belum diimbangi oleh kemampuan menulis yang baik. Sehingga sastra Islami sering diidentikkan karya yang memuat ayat-ayat Al-Qur'an atau hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, bercerita tentang hitam dan putih, baik dan jahat, bahkan terkesan menggurui. Hal ini bisa dimaklumi karena hampir semua anggota FLP pada awalnya hanyalah calon penulis, bukan penulis, apalagi sastrawan yang sudah piawai dalam merangkai kata-kata. Hal ini adalah sebuah proses dan para penulis FLP akan tetap berkarya, memperbaiki kualitas karya, menjawab kritikan dengan karya dan menjadi orang yang ada dengan karya.

Agar dakwah dan sastra menemukan paralelnya, ada kriteria yang harus dipenuhi. Dakwah itu harus disampaikan dengan bahasa yang indah agar orang yang membaca tidak bosan dan yang tak kalah penting karya itu tetap menggetarkan perasaan dan menyebabkan orang yang membaca ingat kepada Sang Maha Kuasa.

Terlepas dari pro dan kontra sastra mengenai Islami atau tidaknya sebuah karya sastra serta kualitas karya yang dihasilkan, FLP telah memberikan sumbangsih dan kontribusi besar dalam dunia kesusastraan Indonesia. Harian Republik menulis bahwa FLP membawa fenomena baru dalam penulisan sastra religius kontemporer. Harian The Straits News yang terbit di Singapura mengatakan bahwa FLP adalah kelompok fenomenal yang terus-menerus melahirkan penulis baru. Bahkan, Koran Tempo menjuluki Helvi Tiana Rosa sebagai "Lokomotif Penulis Muda Indonesia".

"Saya gagal menyembunyikan kekaguman saya melihat gerakan yang dilakukan FLP, sebab dari sana tiba-tiba saja berloncatan para penulis Novel. Bukankah gerakan semacam ini, dalam sejarah sastra Indonesia baru dilakukan oleh FLP?". Demikian komentar Maman S Muhayana, seorang akademisi dan kritikus sastra UI terhadap FLP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar