Rabu, 10 Juni 2009

DIABOLISME DAN NDOBOLISME INTELEKTUAL

Mohon maaf apabila judul yang di pakai dirasa tidak sopan, kasar atau kurang ajar. Ndobol dalam bahasa jawa berarti buang angin atau buang air besar. Namun dalam bahasa jawa kasar kata ini biasa juga di gunakan untuk menggantikan kata bohong, dusta atau membual. Seseorang yang dalam ucapannya mengandung ketidak jujuran maka dia adalah seorang ndobolik. Begitu juga orang yang berbicara tanpa dukungan fakta, menyembunyikan kebenaran atau membuat serangkaian tipu daya untuk membenarkan pendapatnya itu pun termasuk dalam kategori ndobolik.

Sedangkan diabolisme berasal bahasa yunani kuno, diabolisme berarti iblis. Istilah diabolisme berarti pemikiran, watak, dan perilaku ala iblis ataupun pengapdian kepadanya. Iblis adalah makhluk yang dilaknat dan dihalau dari syurga karena menolak untuk bersujud kepada Adam as. Iblis dilaknat bukan karena ketikgahuan atau kebodohannya. Iblis adalah makhluk yang mengenal Tuhan. Ia tidak meragukan wujud maupun Ke-Esaan-Nya. Kesalahan iblis adalah karena ia membangkang. Menganggap dirinya hebat. Iblis adalah model intelektual yang keblinger. Setelah dilaknat iblis pun bersumpah untuk mengajak manusia kedalam kesesatan (QS 7 : 16-17). Ia selalu berupaya untuk menebar keraguan, lupa akhirat, anti terhadap kebaikan dan kebenaran, tergila-gila pada dunia, gemar berbuat dosa, ragu dan bimbang pada agama. Dan kerja keras iblis pun berhasil, banyak manusia yang menjadi pengikutnya, berfikiran dan berperilaku sama sepertinya. Bukan hanya manusia awan yang tergoda banyak juga dari para ulama dan juga kaum cendekia.

Akhir-akhir ini banyak sekali ulama, cendekia dan intelektual yang telah menajadi pengikut iblis adapun ciri-ciri dari cendekia dan intelektual diabolik adalah

pertama, selalu membangkang dan membantah, meskipun ia tahu dan paham namum tidak pernah mau menerima kebenaran. Mereka akan menyangah dan menolak kebenaran demi mempertahankan asumsi dan opininya.

Kedua, intelektual diabolik bersifat takabbur, sombong, angkuh, congkak dan arogan. Takabbur adalah menolak yang haq dan meremehkan orang lain. Sehingga orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran dan Al-Hadist dianggap sebagai orang literalis, extrimis, eksklusif, dogmatis, fundamentalis atau konservatif. Sebaliknya orang yang berfikiran liberal, berpandangan relanvistik, menghujat Al-Qur’an dan Al-Hadist, di sanjung sebagai intelektual kritis, reformis, progesif dan sebagainya. Meskipun tekbukti fasiq, munafik, zindiq dan berjiwa iblis.

Ketiga, mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran. Cendekiawan diabolik bukan tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun ia sengaja memutarbalikan data dan fakta. Yang haq dikatakan batil dan yang batil dikatakan haq. Atau mencampuradukan diantara keduanya. Sehingga tidak jelas lagi bedanya.

Contohnya adalah mereka yang mengusung gagasan inklusivisme dan pluralisme agama. Menganggap semua agama adalah sama sebagai jalan kebenaran menuju satu Tuhan. Dari sini akan timbul kenyelenekan-kenyelenekan dalam berpikir. Seperti tidak adanya hukum Tuhan, tidak wajib sholat, tidak wajib nya jilbab, menghalalkan pernikahan lain Agama. Menghalalkan pernikahan sejenis-jenis, meragukan kewahyuan Al-Qur'an, dan sebagai pengikut iblis bahkan ada yang mengatakan bahwa tauhid iblislah yang paling murni karena tidak mau bersujud pada Adam as. Mereka menikah agama dan memprogandakan pikiran liarnya dengan kemasan yang menarik, yaitu dengan mengatas namakan hak asasi manusia (HAM). Demokrasi kebebasan berekpresi, pembaharuan, pencerahan dan opini tersebut dapat dipastikan bahwa mereka termasuk dalam kategori manusia ndobolik.

Jika anda adalah termasuk orang yang terobses untuk menjadi intelektual atau cendekiawan yang berpikiran “liar”, tak usah berharap bisa mendapatkan beasiswa untuk belajar berbagai metodologi di MC Gill, Sorbonne, Leidin, harvard atau universitas lain. Karena toh semuanya sudah terangkum dalam Ndobolisme Pemikiran.

"BERADA" DENGAN KARYA SASTRA

"FLP adalah anugerah dari Allah untuk Indonesia" (Taufiq Ismail)


Forum Lingkar Pena (FLP) adalah komunitas (calon) penulis yang didirikan pada 22 Februari 1997. Pendirian forum ini bermula dari diskusi kecil Helvi Tiana Rosa, Asma Nadia, Muthmainnah dan beberapa mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) di Masjid Ukhwuah Islamiyah, Jakarta. Dari diskusi itu, mereka menyadari kebutuhan masyarakat akan bacaan yang bermutu juga perlunya wadah untuk menampung bakat menulis para calon penulis. Akhirnya mereka sepakat untuk membentuk organisasi kepenulisan dengan nama Forum Lingkar Pena yang kemudian disingkat dengan FLP.

Dalam perkembangannya, FLP menjadi wadah ratusan bahkan ribuan orang untuk mengasah potensi diri untuk menjadi penulis. Sehingga FLP mampu menerbitkan hampir 1.000 buku, bekerja sama dengan tak kurang dari 30 penerbit, serta membuka cabang di 125 kota di Indonesia. Bahkan mereka mampu membuka cabang di luar negeri seperti Singapura, Hongkong, Jepang, Belanda, Amerika, Mesir, dan lain-lain. Nama FLP semakin fenomenal pasca diterbitkannya Novel "Ayat-Ayat Cinta" karya Habiburrahman El-Shirazy, anggota FLP Mesir tahun 2004.

Kelahiran FLP juga "dibidani" oleh salah satu redaksi An-Nida, sehingga dalam perjalanannya FLP dan An-Nida berjalan bergandengan. Banyak penulis FLP yang mengasah kemampuan dengan mengirim karya tulis mereka ke majalah An-Nida. Majalah fiksi remaja Islam ini telah menjadi media komunikasi yang efektif bagi FLP. Hampir seluruh anggota FLP adalah pembaca sekaligus penulis di majalah An-Nida. Dari sanalah FLP sering diidentikkan sebagai komunitas yang mengusung jargon sastra Islami walaupun secara resmi FLP tidak pernah mendeklarasikan hal tersebut.

Penilaian apakah karya dapat disebut sebagai sastra Islami atau bukan, tidak dilihat pada karyanya semata, namun juga pribadi pengarang, proses pembuatannya, hingga dampak yang ditimbulkan pada masyarakat. Sastra bagi pengarangnya adalah ibadah, pengabdian yang harus dipertanggungjawabkan pada umat dan Allah. Sastra adalah karya yang dapat membentuk ke arah perbaikan manusia. Sastra adalah karya yang dapat mengambil bagian dalam mengatasi kerusakan aqidah dan akhlak masyarakat. Dengan kata lain, sastra yang diusung oleh FLP adalah sebagai salah satu sarana untuk berdakwah bagi penulisnya sebagaimana visi FLP yang ingin menjadikan menulis sebagai salah satu pencerahan masyarakat bahkan umat.

Adalah hal yang baik jika menjadikan sastra sebagai sarana untuk berdakwah. Namun yang menjadi maslah adalah bagaimana mengemasnya. Jika dakwah itu terlalu vulgar, lantas apa bedanya dengan khotbah?

Beberapa pihak mengatakan bahwa semangat yang kuat untuk berdakwah oleh sebagian anggota FLP belum diimbangi oleh kemampuan menulis yang baik. Sehingga sastra Islami sering diidentikkan karya yang memuat ayat-ayat Al-Qur'an atau hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, bercerita tentang hitam dan putih, baik dan jahat, bahkan terkesan menggurui. Hal ini bisa dimaklumi karena hampir semua anggota FLP pada awalnya hanyalah calon penulis, bukan penulis, apalagi sastrawan yang sudah piawai dalam merangkai kata-kata. Hal ini adalah sebuah proses dan para penulis FLP akan tetap berkarya, memperbaiki kualitas karya, menjawab kritikan dengan karya dan menjadi orang yang ada dengan karya.

Agar dakwah dan sastra menemukan paralelnya, ada kriteria yang harus dipenuhi. Dakwah itu harus disampaikan dengan bahasa yang indah agar orang yang membaca tidak bosan dan yang tak kalah penting karya itu tetap menggetarkan perasaan dan menyebabkan orang yang membaca ingat kepada Sang Maha Kuasa.

Terlepas dari pro dan kontra sastra mengenai Islami atau tidaknya sebuah karya sastra serta kualitas karya yang dihasilkan, FLP telah memberikan sumbangsih dan kontribusi besar dalam dunia kesusastraan Indonesia. Harian Republik menulis bahwa FLP membawa fenomena baru dalam penulisan sastra religius kontemporer. Harian The Straits News yang terbit di Singapura mengatakan bahwa FLP adalah kelompok fenomenal yang terus-menerus melahirkan penulis baru. Bahkan, Koran Tempo menjuluki Helvi Tiana Rosa sebagai "Lokomotif Penulis Muda Indonesia".

"Saya gagal menyembunyikan kekaguman saya melihat gerakan yang dilakukan FLP, sebab dari sana tiba-tiba saja berloncatan para penulis Novel. Bukankah gerakan semacam ini, dalam sejarah sastra Indonesia baru dilakukan oleh FLP?". Demikian komentar Maman S Muhayana, seorang akademisi dan kritikus sastra UI terhadap FLP.